Senin, 31 Oktober 2011

Net Topi Dewasa / Head Net



Gunakanlah Selalu Head Net ( Net Saja ) 
Solusi Kesuksesan Peternak Lebah:
- Wajah Aman Dari Sengatan Lebah
- Wajah Aman Dari Gigitan Nyamuk
- Wajah Aman Dari Gangguan Serangga / Hewan Kecil Lainnya

Type : Head Net ( Tanpa Topi )
Ukuran : Lingkaran Topi Ø 45 Cm
Bahan : Net - Tille
Warna : Hijau T N I 




Harga Rp. 40.000.- / Pcs
Belum Termasuk Ongkos Kirim

Cocok Untuk :
01. Peternak Lebah Madu.
02. Pemancing Malam.
03. Pemancing Malam.
04. Penjaga Malam.

 Hubungi : 0822 1649 7317 Simpati, 0821 1508 2993 Freedom
Respon cepat sekali,,,

Mau jadi RESSELLER JUGA BISA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Hindari DBD, Malaria, Cikungunya dengan tidur selalu menggunakan kelambu Anti-Nyamuk.

Bank TT:
BCA KCP UJUNG BERUNG - Bandung.
Account : 2 8 3 0 6 4 8 1 3 8.

BNI Cabang Asia Afrika - Bandung.
Account : 0 0 2 4 2 9 5 1 4 5.

Pengiriman Melalui:
01. JNE.
02. TIKI.
03. POSINDO.

Minggu, 23 Oktober 2011

6 Langkah Rumah Bebas Nyamuk

6 Langkah Rumah Bebas Nyamuk


Rumah yang sehat adalah rumah yang menjamin masuknya cahaya alami dan udara bisa bersirkulasi.
TERKAIT:
Kompas.com - Aedes aegypti maupun Aedes albopictus adalah nyamuk penular atau vektor utama virus dengue di Indonesia. Meski tahun 2010 terjadi terjadi penurunan angka kejadian penyakit akibat nyamuk, namun masyarakat diminta jangan terlena dan lupa dalam mencegah demam berdarah.
PT.Johnson Home Hygiene melalui produk terbarunya Baygon Maximal bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI, Institut Pertanian Bogor, dan Ikatan Arsitek Indonesia, kemarin (31/1) meluncurkan kampanye nasional Rumahku Bebas Nyamuk Maximal di Jakarta dan akan disosialisasikan ke beberapa kota.
Berikut adalah 6 langkah rumah bebas nyamuk yang bisa diterapkan masyarakat.
 
1. Maksimalkan sirkulasi udara dan cahaya alami
Sifat nyamuk adalah suka bersarang di lingkungan yang lembab, dingin, dan gelap. Karena itu upayakan agar bangunan rumah memiliki sirkulasi udara dan pencahayaan alami. Selain jendela, penggunaan genteng kaca, glassblock dan fiber transparan bisa memaksimalkan pencahyaan alami di kamar mandi atau ruangan lain.

2. Hilangkan genangan air di sekitar rumah 
- Seluruh tempat penampungan air di sekitar rumah, seperti bak mandi, ember, tempayan, atau alas pot bunga harus dikuras dengan rutin seminggu sekali dan tutup dengan rapat agar tidak menjadi tempat bertelur nyamuk.
- Sampah dan barang bekas yang bisa menampung air hujan bisa didaur ulang. Pastikan juga selokan dan talang air bebas dari sampah dan tidak tergenang air.
- Kolam di taman bisa diberi beberapa ekor ikan sebagai predator alami larva nyamuk.
 
3. Jaga kebersihan rumah dan lingkungan
- Hindari menggantung baju di gantungan dalam waktu lama karena bisa menjadi hunian yang nyaman bagi nyamuk.
- Demi kesehatan, sebaiknya ternak ditempatkan terpisah dari rumah tinggal atau dibuatkan kandang tersendiri.
 
4. Pangkas tanaman yang terlalu rimbun
- Tanaman yang berdaun rimbun bisa menjadi hunian yang disukai nyamuk, karena itu pangkaslah daun-daun yang terlalu rimbun secara berkala.
- Beberapa jenis tanaman seperti Lavender, Akar Wangi, Geranium, Zodia, dan Selasih memiliki aroma yang sangat dibenci nyamuk.
 
5. Cegah nyamuk dengan memasang kelambu atau kasa nyamuk di lubang ventilasi atau jendela.
 
6. Gunakan anti nyamuk yang aman.
- Letakkan anti nyamuk dengan jarak 1,5 meter dari manusia. - Pastikan sirkulasi udara baik agar obat anti nyamuk, baik berbentuk bakar atau semprot, tidak mengganggu pernapasan.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Bumi Makin Panas, Nyamuk Jadi Ganas

Kompas.com — Pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim tidak hanya berdampak pada bidang lingkungan dan pertanian, tapi juga secara tidak langsung berdampak pada kesehatan masyarakat. Meningkatnya suhu dan kelembaban akan memengaruhi peningkatan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.
Penyakit infeksi yang ditularkan oleh nyamuk dan kecenderungannya meningkat antara lain filariasis (kaki gajah), malaria, radang otak akibat west nile virus dan Japanese encephalitis, chikungunya, serta demam berdarah.
"Peningkatan suhu akan memengaruhi bionomik atau perilaku menggigit dari populasi nyamuk menjadi semakin beringas. Angka gigitan rata-rata nyamuk juga meningkat dan perkembangbiakan nyamuk semakin cepat," kata Prof dr Umar-Fahri Achmadi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di sela acara program "Aku Anak Sehat 2010" yang diadakan Tupperware Indonesia di Cibubur, Bogor, Rabu (29/9/2010).
Intergovermental Panel on Climate Change tahun 1996 menyebutkan, insiden demam berdarah dengue di Indonesia dapat meningkat tiga kali lipat pada tahun 2070.
Intensitas curah hujan yang meningkat akibat meningkatnya temperatur udara juga berakibat pada makin banyaknya volume genangan air. Padahal, air merupakan tempat ideal berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti, penyebar virus dengue.
"Makin banyak tempat berkembang biak nyamuk, bertambah pula jumlah nyamuk. Akibatnya, risiko orang tergigit dan tertular penyakit juga semakin besar," kata Umar.
Untuk beradaptasi dengan beberapa dampak perubahan iklim tersebut, Umar mengatakan hanya ada dua pilihan, yakni melakukan pencegahan atau mengobati penyakit jika tertular.
"Kita bisa mengurangi jumlah populasi nyamuk dan memperkecil penularan penyakit dengan melakukan pembersihan tempat-tempat perindukan nyamuk," katanya.
Kebiasaan melakukan hidup sehat juga harus dilakukan, seperti kebiasaan mencuci tangan, membuang sampah pada tempatnya, serta mengonsumsi makanan bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Pada anak-anak, Umar juga menekankan pentingnya imunisasi. "Anak sekolah merupakan kelompok yang rentan terhadap dampak perubahan iklim," katanya.
Perubahan iklim membawa perubahan pada potensi penyakit menular. Karena itu, seharusnya perilaku hidup kita juga ikut berubah untuk mencegah infeksi penyakit.
 -----------------------------------------------------------------------------------------------------
PENANGANAN DBD
 Pemberantasan Sarang Nyamuk Belum Efektif

Bandung,Kompas - Pemberantasan sarang nyamuk untuk menangani penyakit demam berdarah dengue belum memberikan hasil signifikan bagi masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi baru untuk menanggulangi masalah ini.
”Belum optimalnya penanganan demam berdarah tanpa disadari membuat kasus demam berdarah dengue (DBD) kembali meningkat,” kata Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Alma Lucyati dalam Simposium Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Anak, Sabtu (20/11) di Bandung.
Alma mengatakan, strategi hanya mengandalkan pemantau jentik nyamuk dikhawatirkan sulit menyelesaikan kasus DBD di Jabar. Alasannya, penanganan DBD terbentur banyak tembok, seperti derasnya laju transportasi, migrasi penduduk, dan sifat masyarakat yang lekas bosan dan berpuas diri.
Data Dinas Kesehatan Jabar menyebutkan, kasus tersangka DBD di Jabar mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Bila tahun 2005 penderitanya 17.488 orang per tahun, lima tahun kemudian jumlahnya menjadi 37.861 orang per tahun. Daerah dengan angka kejadian tinggi adalah Kota Cimahi, Kota Sukabumi, Kota Bekasi, Kota Bogor, dan Kota Depok.
Masyarakat diharapkan tidak sekadar dijadikan obyek, tetapi juga subyek. Caranya, melalui pendekatan antarkeluarga, penggalian karakteristik khas suatu daerah, dan jaminan anggaran dari pemerintah daerah untuk membiayai proses itu.
”Masyarakat diharapkan memiliki tanggung jawab pribadi karena cara penanggulangannya dilakukan atas usulan dan keinginan mereka sendiri,” katanya.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Azhali Manggus Sjahrodji mengimbau masyarakat mengonsumsi obat yang tepat untuk menurunkan demam pada anak, termasuk DBD.
”Cara paling aman, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), adalah menggunakan parasetamol,” ujar Azhali. (CHE).
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Nyamuk Juga Pilih-pilih Korban Gigitan

KOMPAS.com — Nyamuk sepertinya tidak pandang bulu dalam menggigit korbannya. Namun, nyamuk sesungguhnya lebih menyukai darah manusia berjenis kelamin perempuan. Para peneliti menduga, nyamuk suka menggigit kaum wanita karena darahnya lebih manis akibat pengaruh hormon estrogen.
Selain itu, nyamuk juga lebih memilih orang yang berbadan besar sebagai korbannya. Mengapa? Dalam riset yang dimuat dalam Annals of Internal Medicine disebutkan, orang gemuk atau yang berbadan besar cenderung mengeluarkan panas atau karbon dioksida lebih banyak sehingga menarik nyamuk.
Bukan hanya pria, wanita yang berbobot tubuh besar juga menjadi incaran nyamuk. Penelitian terhadap para ibu hamil membuktikannya. Hal itu terjadi karena ibu hamil mengembuskan karbon dioksida lebih banyak dan memiliki suhu tubuh lebih tinggi sehingga dapat dideteksi nyamuk dengan mudah.
Hal lain yang menjadi incaran nyamuk adalah asam laktat. Itu sebabnya mengapa orang yang sedang beraktivitas di luar ruangan dan berkeringat sering digigit nyamuk. "Nyamuk bisa mencium senyawa kimia yang dikeluarkan kulit manusia dari jarak 30 meter," kata dr Clifford W Basset dari Allergy and Asthma Care of New York, Amerika Serikat.
 -----------------------------------------------------------------------------------------------------
7 Penyebab Nyamuk Mengincar Anda


Nyamuk ternyata senang menghisap sari bunga. Itu sebabnya ia suka ketika Anda mengenakan parfum beraroma bunga.
TERKAIT:
KOMPAS.com - Rumah yang panas biasanya menarik bagi nyamuk. Mungkin Anda tak tahu apa penyebabnya, dan hanya mengamati saja. Namun sebenarnya, ada banyak alasan mengapa nyamuk begitu tertarik pada manusia. Tujuh alasan di bawah ini mungkin juga Anda sadari.

1. Anda selalu memakai pakaian warna gelap. Nyamuk sejak dulu memang "diprogram" untuk memburu mamalia, yang kulit dan bulunya cenderung gelap, begitu menurut ahli entomologi  Grayson Brown, PhD. Dalam eksperimennya, pekerja laboratorium Brown mengenakan pakaian warna putih. Terbukti, nyamuk tak begitu ngebet pada mereka.

2. Anda menyemprotkan parfum beraroma bunga. Nyamuk senang menghisap cairan manis pada bunga, sebagai bekal energinya untuk terbang dan menyengat. Jika Anda mengenakan parfum beraroma mawar, tak salah jika nyamuk mengira Anda bunga mawar.

3. Anda gemar minum bir. Peminum bir ternyata 63 persen lebih menarik bagi nyamuk ketimbang peminum air putih, demikian menurut suatu penelitian di Perancis. Alkohol memang mempengaruhi bau mulut dan aroma tubuh. Meskipun begitu, masih perlu penelitian lebih lanjut apakah hal ini juga terjadi pada peminum tipe alkohol lain, seperti anggur dan koktil.

4. Anda hamil. Menurut para peneliti, ibu hamil dua kali lebih menarik daripada perempuan yang tidak hamil. Khususnya pada trimester akhir kehamilan, perempuan akan menghembuskan nafas 21 persen lebih banyak, dan ini memikat nyamuk yang memang menyukai karbondioksida dan kelembaban. Suhu tubuh ibu hamil juga cenderung lebih tinggi, sehingga lebih mudah dideteksi oleh nyamuk.

5. Anda tidak mengosongkan air di bathtub. Anda tahu kan, nyamuk tertarik dengan kubangan atau genangan air. Misalnya air hujan yang tertampung di kaleng kosong. Untuk mencegah nyamuk memasuki rumah, pastikan tidak ada genangan air di rumah, mandilah di bahttub (berendam) setidaknya sekali seminggu saja, pangkas rumput di halaman secara teratur, dan tutupi kolam renang di rumah (bila ada) saat tidak digunakan.

6. Anda senang tidur larut malam. Nyamuk lebih banyak aktif mulai sore hingga dini hari. Saat itulah mereka mulai berburu di rumah Anda. Hindari kebiasaan makan di luar ruangan, agar Anda tidak menjadi mangsa nyamuk.

7. Anda sering berkeringat. Para peneliti di Universita Yale mendapati bahwa nyamuk bisa mengincar senyawa kimia dalam keringat kita. Keringat juga bisa membuat obat nyamuk yang Anda kenakan (misalnya yang dioleskan atau disemprotkan) mudah lenyap. Karena, oleskan kembali tiap beberapa jam.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Usir Nyamuk Tanpa Bahan Kimia

Kompas.com - Bagaimana cara Anda menangkal gigitan nyamuk? Penggunaan antinyamuk, baik dioles di kulit atau disemprot mungkin lebih banyak dipilih karena lebih efektif mengusir nyamuk. Namun, produk berbahan kimia itu pada umumnya bersifat toksik, bisa menimbulkan iritasi kulit, serta meninggalkan bau.
Untuk Anda yang lebih menyukai cara alami dan non kimia, sebenarnya kipas angin di rumah bisa jadi penangkis nyamuk yang efektif.
Penelitian menunjukkan angin adalah metode yang efektif untuk melawan nyamuk dan serangga udara lainnya. Hembusan angin akan membuat nyamuk tidak bisa mendarat di kulit Anda, seperti halnya badai yang menyebabkan pesawat tidak bisa mendarat di bandara.
Alasan lain yang lebih ilmiah adalah, kipas angin akan menipiskan karbondioksida yang dihirup. Karbon dioksida adalah senyawa kimia yang paling menarik nyamuk. Angin dari kipas angin juga akan membuat suhu tubuh Anda lebih dingin di mana keringat, asam, dan panas tubuh akan menarik nyamuk mendekat.
Dalam sebuah studi yang dilakukan di tahun 2003, ahli epidemiologi dari Michigan State University menggunakan perangkap yang dipasang di dataran basah untuk menarik nyamuk. Pelepasan karbon dioksida ternyata menarik lebih banyak serangga ke dalam perangkap. Dan, makin banyak karbon dioksida, makin banyak nyamuk.
Menggunakan kipas angin dengan variasi kecepatan dinilai lebih efektif untuk mengusir nyamuk, baik di dalam atau di luar ruangan.
---------------------------------------------------------------------------------------------
DEMAM BERDARAH
Waspadai Perubahan Perilaku Nyamuk 
"Aides Aigepty"

Serang, Kompas - Perubahan perilaku nyamuk Aides aigepty merupakan salah satu faktor yang perlu diwaspadai warga agar bisa menekan penyebaran penyakit demam berdarah dengue. Perubahan perilaku tersebut meliputi habitat, kemampuan terbang, dan juga waktu menggigit.
”Dulu nyamuk pembawa virus DBD dikenal menyukai air jernih, tetapi belakangan ditemukan pula di air kotor,” kata Kepala Subbidang Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Banten Dendi di Serang, Provinsi Banten, Jumat (7/5).
Sekarang, nyamuk itu ternyata juga bisa berada di lantai tingkat atas. Padahal, dulunya nyamuk ini dijumpai di lantai bawah dengan ketinggian terbangnya sekitar dua meter ke arah vertikal.
Sebelumnya, diketahui juga bahwa nyamuk Aides aigepty terbiasa menggigit pada pagi hari, yakni sekitar pukul 10.00, dan pada sore hari antara pukul 14.00 dan 18.00. Namun, nyamuk itu sekarang juga menggigit pada malam hari. Selain akibat mutasi gen, kata Dendi, perubahan perilaku nyamuk dimungkinkan sebagai bentuk adaptasi serangga itu terhadap lingkungan dan faktor lainnya yang juga berubah.
Dendi meminta warga menghilangkan sarang nyamuk, memasang kasa antinyamuk di lubang ventilasi, tak menggantung pakaian, dan selalu mencermati agar gorden tidak menjadi tempat nyamuk menempel.
Sementara itu, kasus DBD yang terdeteksi di RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Tarakan tidak mengalami lonjakan yang signifikan. Namun, pasien DBD masih berobat silih berganti.
Kepala Bagian Pemasaran dan Humas RSCM Antaria, Jumat (7/5), mengatakan, pelayanan kesehatan untuk penderita DBD mendapatkan jaminan dari Pemprov DKI Jakarta. Dua bulan terakhir, setiap hari ada 1-3 pasien yang berobat karena DBD. Sebagian besar bisa diobati. Satu pasien meninggal pada awal Mei ini lantaran terlambat berobat.
Menurut Kepala Bidang Pelayanan RSUD Tarakan, jumlah penderita DBD yang dirawat rata-rata lima orang per hari. ”Hingga kini belum ada lonjakan kasus DBD di RSUD Tarakan. Velbed juga belum dipakai,” ucapnya.
Di Kota Depok, warga mencemaskan penyebaran DBD. ”Warga meminta fogging di Cimanggis dan Sawangan. Kami masih mengupayakan,” tutur Kepala Bidang Pencegahan Penanggulangan Penyakit dan Lingkungan Dinas Kesehatan Depok Ani Rubiyani. (CAS/ART/NDY)
 ---------------------------------------------------------------------------------------------
Nyamuk-nyamuk Penebar Penyakit

KOMPAS.com — Meski ukuran tubuhnya kecil dan berat badannya 2-2,5 miligram, hingga kini nyamuk masih menjadi musuh yang belum terkalahkan.
  
Setiap tahun, nyamuk penular penyakit masih dengan leluasa menyebarkan virus dan parasit, menyebabkan sekitar 1,62 juta orang terserang malaria klinis dan lebih dari 100.000 orang menderita demam berdarah dengue di Indonesia.

Penyakit filariasis atau kaki gajah, chikungunya, dan radang akut susunan saraf atau Japanese Enchepalitis juga belum bisa terberantas tuntas karena serangga yang tergolong famili Culicidae ini masih bisa berkembang biak dengan baik.

Menurut ahli parasitologi Prof Mohammad Sudomo, setidaknya ada 29 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia yang menjadi perantara penularan penyakit di Indonesia.

"Ada 20 spesies nyamuk Anopheles, enam spesies nyamuk Mansonia, dua spesies nyamuk Aedes dan satu spesies nyamuk Culex," kata ayah dari empat anak yang dikukuhkan menjadi Profesor Riset tahun 2008 itu.
  
Spesies nyamuk Anopheles, termasuk Anopheles balabacensis, Anopheles maculatus, Anopheles barbirostris, dan Anopheles sundaicus, menularkan penyakit malaria dengan memasukkan protozoa dari genus Plasmodium ke dalam darah manusia melalui gigitannya.
  
Nyamuk Aedes jenis Aedes aegypti memasukkan virus dengue yang menyebabkan demam berdarah dengue. Nyamuk yang dikenal dengan belang hitam putih pada badan dan kakinya ini juga dapat menularkan penyakit chikungunya.
  
Sementara itu, nyamuk yang tergolong dalam genus Culex dan Mansonia umumnya menularkan filariasis dengan memasukkan cacing filaria ke dalam darah manusia melalui gigitannya.
  
"Nyamuk Culex quinquefasciatus menularkan filariasis yang disebabkan oleh cacing filaria jenis Wucheraria bancrofti dan nyamuk Mansonia annulifera menularkan filariasis yang disebabkan cacing jenis Brugia malayi," kata Prof Sudomo.
  
Siklus hidup nyamuk-nyamuk penular penyakit tersebut, menurut dia, secara umum hampir sama.
  
Masa pradewasa, dari telur, larva hingga pupa terjadi di air dan berlangsung antara 7 dan 14 hari. Hal ini tergantung dari suhu dan kondisi lingkungan sekitarnya.
  
Sementara itu, proses perubahan pupa atau kepompong menjadi nyamuk, katanya, berlangsung lebih singkat, yakni antara dua dan tiga hari.
  
"Nyamuk betina yang baru keluar dari pupa akan langsung terbang, berputar-putar di sekitarnya untuk mencari nyamuk jantan dan kawin," katanya.
  
Setelah perkawinan selesai, dia melanjutkan, nyamuk betina akan beristirahat sebentar untuk kemudian terbang mencari darah yang dibutuhkan untuk mematangkan telur-telurnya nanti.
  
"Nyamuk yang sudah berhasil mendapatkan darah dengan menggigit hewan atau manusia akan kembali beristirahat di tempat perindukan dan meletakkan telurnya pada tanaman air. Seekor nyamuk betina bisa mengeluarkan 100-200 telur dan menetaskan 75 hingga 150 di antaranya," kata dia.
  
Dalam hal ini, ada nyamuk yang menggigit pada siang hari dan malam hari. Nyamuk yang menularkan virus dengue biasanya menggigit pada siang hingga petang hari, sedangkan nyamuk yang menularkan penyakit malaria dan kaki gajah biasa menggigit pada malam hari.
  
Ia menjelaskan pula bahwa hanya nyamuk betina yang menggigit manusia dan hewan untuk mendapatkan darah. "Nyamuk jantan biasanya makan sari tumbuhan saja. Siklus hidupnya pun lebih pendek," katanya.
 
Menghalau nyamuk
Prof Sudomo mengatakan, pengetahuan mengenai siklus hidup dan perilaku nyamuk penular penyakit bisa menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan dan program pengendalian vektor (agen perantara penularan penyakit).
  
"Setiap jenis nyamuk punya tempat perindukan spesifik. Kalau kita mengenali tempat itu dan menghilangkannya, tentu nyamuk tidak akan bisa tumbuh dan berkembang biak," katanya.
  
Ia mencontohkan, nyamuk Aedes suka hidup dan berkembang biak pada genangan air jernih yang tidak langsung bersentuhan dengan tanah, nyamuk Anopheles sundaicus perlu habitat air payau, Anopheles aconitus perlu habitat persawahan dengan air jernih yang selalu mengalir.
  
Selain itu, kata dia, pengendalian vektor bisa dilakukan dengan menempatkan pemangsa nyamuk di lokasi-lokasi yang menjadi habitat nyamuk. "Dan pilihan terakhir menggunakan insektisida," katanya.
  
Menurut Sabar Paulus dari Sub Direktorat Pengendalian Vektor Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, pemerintah sudah memasukkan teknik pengendalian tersebut ke dalam program pengendalian vektor terpadu.
  
"Penggunaan insektisida dibatasi hanya di daerah endemis tinggi atau bila ada kejadian luar biasa. Di luar itu, pengendalian vektor difokuskan pada upaya pengelolaan lingkungan dan penggunaan kontrol biotik," katanya.
  
Upaya pengelolaan lingkungan yang dia maksud termasuk pembasmian tempat perindukan nyamuk.
  
Laguna, rawa, persawahan, dan selokan, dia menjelaskan, harus dibersihkan dari vegetasi yang bisa menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.
  
Tempat-tempat penampungan air yang ada di rumah pun, katanya, harus selalu dikuras dan dibersihkan supaya tidak menjadi tempat yang nyaman bagi nyamuk untuk berkembang biak.
  
Ia menambahkan, gerakan 3M plus yang menyeru masyarakat untuk menguras dan membersihkan tempat penampungan air, mengubur barang bekas yang bisa menampung air, dan menaburkan abate pada air yang tertampung sangat efektif untuk memberantas sarang nyamuk.
  
"Ikan pemangsa nyamuk, seperti ikan timah, bisa dilepaskan di tempat-tempat yang diduga menjadi sarang nyamuk," ujarnya.
  
Dia juga mengimbau masyarakat untuk menghindari gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu dan menggunakan obat nyamuk oles atau bakar.
  
Program dan kebijakan pengendalian vektor yang telah dilakukan pemerintah, menurut Prof Sudomo, sudah tepat. Namun, hal itu belum terlaksana dengan baik di lapangan.
  
Sabar pun mengakui bahwa selama ini pemantauan dan evaluasi kegiatan pengendalian vektor masih lemah.
  
Hal itu membuat kegiatan pengendalian vektor belum bisa memberikan dampak nyata terhadap upaya pengendalian penyakit tular vektor.
  
Nyamuk-nyamuk penular penyakit masih leluasa menebarkan penyakit yang merenggut ribuan jiwa setiap tahun.
 ---------------------------------------------------------------------------------------------
Usir Nyamuk dengan Cara Alami


KOMPAS.com - Obat penyemprot nyamuk yang terbuat dari bahan-bahan kimiawi DEET sebenarnya tak baik untuk tubuh manusia. Disebutkan oleh situs Intent, beberapa riset menunjukkan bahwa kandungan DEET (diethyl-meta-toluamide) pada obat penyemprot terkait dengan kerusakan pada otak. Nah, daripada menggunakan zat berbahaya di rumah, lebih baik pilih yang alami, kan?
Berikut adalah beberapa zat alami yang mampu mengusir nyamuk-nyamuk membandel.

* Citronella. Ini adalah salah satu yang paling terkenal mampu mengusir nyamuk. Untuk dioleskan, pilih minyak esensial citronella murni, jangan minyak pewangi ruangan (fragrance oil). Minyak pewangi yang digunakan untuk membakar tidak cukup untuk dioleskan dan menghalau nyamuk.

* Minyak kedelai. The New England Journal of Medicine melaporkan, bahwa minyak kedelai juga sama efektifnya dengan obat nyamuk DEET. Harga minyak kedelai pun lumayan terjangkau, plus baik sebagai pelembap kulit. Riset lain mengatakan, bahwa kandungan dalam kedelai bisa memperlambat pertumbuhan rambut pada tubuh ketika dioleskan.

* Catnip. Sejenis tumbuhan harum bernama catnip ditengarai memiliki efektivitas 10 kali lebih baik dibanding DEET dalam menghalau nyamuk.

* Minyak biji neem, yang diekstrak dari tanaman yang tumbuh di India dikabarkan lebih efektif ketimbang DEET. Riset ini dikeluarkan oleh Institut Malaria di India.

* Lavender. Minyak lavender juga memiliki wangi yang harum dan memiliki efek menenangkan, baik untuk mengusir nyamuk. Carilah minyak esensial lavender untuk dibalurkan pada tubuh. Atau, sabun beraroma lavender.

* Bawang putih. Nyamuk tak tahan bau bawang putih. Jika Anda benar-benar terganggu dengan nyamuk, coba makan banyak bawang putih, aromanya akan keluar lewat kulit Anda. Tentu jika Anda tak masalah dengan memiliki bau badan ini.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Hilangkan Bekas Gigitan Nyamuk


Atasi gatal bekas gigitan nyamuk dengan cara alami.

KOMPAS.com — Gigitan nyamuk yang memerah biasanya gatal dan berlangsung beberapa hari. Ketika menusukkan jarumnya untuk menghisap darah manusia, nyamuk akan mengeluarkan air liur sehingga kulit akan sedikit membengkak, dan gatal. Atasi segera rasa gatal dengan cara alami berikut ini.

Pasta gigi
Untuk mengatasi dengan cepat dan mudah, pasta gigi bisa mengatasi rasa gatal akibat gigitan nyamuk. Ahli holistik, Jennifer Crain, dari Greenspiralherbs.com mengatakan bahwa pasta gigi, khususnya yang mengandung peppermint, dapat menghilangkan rasa gatal. Peppermint memberikan sensasi mendinginkan pada kulit yang meradang.

Es batu
Dinginnya es batu akan meredakan gatal pada kulit. Demikian anjur Neal Schultz, dermatolog dari DermTV. Bungkus es batu dalam kain atau handuk kecil, lalu kompres bekas gigitan nyamuk untuk menghilangkan rasa gatalnya.

MaduSelain baik untuk meredakan radang tenggorokan, madu juga baik untuk meredakan radang pada kulit. “Madu sangat baik untuk meredakan segala yang meradang,” ungkap dr Schultz. Ia menyarankan untuk mencampur air dan madu dengan perbandingan 1:3, lalu celupkan cotton bud, dan oleskan pada bintik-bintik bekas gigitan nyamuk.

Lemon
Lemon memiliki zat yang mengandung antiradang dan efek anestetis. Demikian terang dr Schultz. Peras lemon, celupkan kapas ke dalam air perasan, lalu oleskan pada kulit yang terkena gigitan.

Susu
Celupkan kain ke dalam campuran susu segar dan air, lalu kompreskan pada bekas gigitan nyamuk. Larutan ini bisa membuat rasa gatal mereda.

Baking soda
Kulit yang meradang akibat gigitan nyamuk bisa diatasi dengan berendam dalam air mandi yang dicampur baking soda, dengan perbandingan 1:3. Campuran ini akan membantu mengatasi rasa gatal hingga iritasi kulit.

Teh
Tumbuh-tumbuhan herbal bisa bermanfaat sebagai antiradang. Pastikan tehnya sudah digunakan dan berada dalam suhu ruangan, lalu letakkan kantong teh pada bekas gigitan nyamuk selama lebih kurang 20 menit. Gigitan nyamuk akan mereda keesokan harinya.

Bawang putih
Iris melintang bawang putih, lalu letakkan pada bekas gigitan nyamuk. Selain bisa membantu mengurangi rasa gatal akibat gigitan nyamuk, bawang putih juga bisa membantu mengatasi luka pada kulit. Diamkan selama 20-30 menit, lalu aplikasikan lagi keesokan harinya.

Kamis, 13 Oktober 2011

Kelana Kota

12 Oktober 2011, 15:37:59| Laporan J. Totok Sumarno

Biaya Berobat Demam Berdarah Mahal, Lebih Baik Mencegah

suarasurabaya.net| “Tahun lalu, untuk biaya berobat Demam Berdarah itu sekitar 3 juta. Itu tidak termasuk rawat inap. Coba bayangkan betapa mahalnya biaya berobat. Untuk itu mari kita bersama mencegah mewabahnya demam berdarah itu dengan membasmi tempat bersarangnya jentik-jentik nyamuk”.

Dan para kader-kader siswa pemantau jentik (wamantik), lanjut Tri Rismaharini Walikota Surabaya, punya peran penting untuk ikut serta menggelorakan kesadaran itu bagi lingkungan disekolah maupun dilingkungan tempat tinggalnya.

“Kalau para siswa ini punya pengetahuan terkait bahaya dari jentik-jentik nyamuk, dan paling tidak tahu bagaimana cara mengantisipasinya, tentunya itu akan menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk ikut membasmi sarang jentik-jentik nyamuk,” kata Tri Rismaharini Walikota Surabaya saat memberikan sambutan pembukaan Jambore Wamantik 2011 di Taman Flora Kebun Bibit, Rabu (12/10/2011).

Setelah guru dan masyarakat menjadi kader-kader pemantau jentik-jentik nyamuk, Risma berharap, para siswa melalui wamantik juga berperan serta aktif menjadi kader yang selalu memantau perkembangan lingkungannya.

“Biaya untuk berobat memang mahal. Termasuk biaya untuk berobat demam berdarah juga mahal. Pencegahan lebih mudah dilakukan dan tidak perlu biaya mahal. Oleh karena itu, wamantik-wamantik ini juga perlu kita dukung,” lanjut Risma.

Dilingkungan manapun, termasuk dilingkungan sekolah, wamantik perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya dari sekolah tetapi juga dari masyarakat sekitarnya. “Ini perlu dilakukan agar ada kesinambungan antara sekolah, lingkungan, masyarakat dan para kader wamantik,” tuntas Tri Rismaharini Walikota Surabaya pada suarasurabaya.net, usai membuka jamboree wamantik di Taman Flora Kebun Bibit, Rabu (12/10/2011).(tok)

Teks foto:
-Tri Rismaharini Walikota Surabaya mengajak masyarakat mencegah mewabahnya DB.
Foto: Totok suarasurabaya.net
Demam Berdarah Mulai Mewabah di Merangin
Tribun Jambi - Selasa, 11 Oktober 2011 22:21 WIB
Share |

Laporan wartawan Tribun Jambi Jariyanto
 
BANGKO, TRIBUN - Penyakit DBD (demam berdarah) mulai mewabah di Kabupaten Merangin. Setidaknya, berdasarkan informasi yang diperoleh, ada sekitar lima orang warga yang terserang penyakit yang disebabkan akibat gigitan nyamuk jenis Aides Aigepty.

    Adapun lokasi tempat ditemukannya penderita DBD yaitu di Desa SP C Muara Delang, Hitam Ulu, Kecamatan Tabir Selatan. Di sini, ada tiga orang yang sudah tertular DBD.

    Lebih dari itu, ada juga informasi sudah ada satu orang warga yang meninggal dunia dan diduga akibat DBD. Namun, sejauh ini belum diperoleh informasi yang akurat mengenai hal ini, karena piha Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Merangin sedang menindaklanjuti kebenaran informasi DBD ini.

    Plt Kadinkes Merangin Mahmulsyah Munthe yang dikonfirmasi mengatakan, telah menurunkan tim untuk meneliti keberadaan jenis nyamuk Aides Aigepty

.    Menurut Munthe, penanganan yang sudah dilakukan, yaitu di desa Muara Delang telah dilakukan fogging (pengasapan) di sejumlah titik yang diyakini tempat bersarangnya nyamuk.

    "Untuk fogging telah kita lakukan, karena jentik nyamuknya memang ditemukan di sana (Hitam Ulu). Sementara untuk tiga orang penderita yang positif terserang DBD masih dirawat," ujarnya kepada Tribun, Selasa (11/10).

    Mengenai adanya ancaman DBD ini, Munthe mengingatkan agar masyarakat dapat untuk melakukan pencegahan dini. Seperti yang sudah disampaikan selama ini, penanganannya yaitu sering disebut 3M (menguras, menutup, dan mengubur).
   
Dikatakannya, pihak Dinkes menetapkan kasus DBD saat ini adalah kategori KLB (kejadian luar biasa). "Untuk adanya dugaan penderita DBD yang telah meninggal dunia, sejauh ini pihak Dinkes masih belum dapat memastikannya. Hal ini masih perlu dilakukan penelitian (epidemiologi ). Kita mau akan cek dulu, sebab informasinya, penderita ini dirawat di Jambi," ucapnya.

Penulis : jariyanto
Editor : ridwan
Sumber : Tribun Jambi

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP NYAMUK ANOPHELES PADA PROSES TRANSMISI MALARIA

Oleh:EKO SAPUTRA
PASCASARJANA PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

ABSTRAK
Malaria adalah salah satu penyakit yang mempunyai penyebaran luas, sampai saat ini malaria menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Vektor malaria adalah nyamuk anopheles. Tujuan penulisan ini membahas faktor lingkungan terhadap nyamuk anopheles pada proses transmisi malaria. Lingkungan fisik meliputi suhu, kelembaban nisbi udara, hujan, ketinggian, angin, sinar matahari dan arus air. Lingkungan biologik keberadan tumbuh-tumbuhan yang dapat mempengaruhi nyamuk anopheles. Lingkungan sosial budaya berupa kebiasaan dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Lingkungan fisik, biologik dan sosial budaya mempengaruhi terhadap proses transmisi malaria.

Kata kunci: Malaria, Anopheles, Lingkungan

PENDAHULUAN
Malaria adalah salah satu penyakit yang mempunyai penyebaran luas. Sampai saat ini malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Malaria sebagai salah satu penyakit infeksi disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus Plasmodium, yang ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Depkes RI, 2001). Penyakit ini tersebar luas di berbagai daerah, dengan derajat infeksi yang bervariasi. Di beberapa daerah yang telah belasan tahun tidak ada kasus malaria, tiba-tiba menjadi endemis kembali. Bahkan di Pulau Bintan, Aceh dan Kabupaten Jayawijaya di Papua sempat dinyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) yang memerlukan penanganan serius dari lintas sektor. Hal ini berkaitan dengan terjadinya perubahan lingkungan yang memudahkan perkembangan nyamuk vektor malaria (Anies, 2005).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, di Indonesia setiap tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan 30.000 orang meninggal dunia (Depkes, 2003). Penularan malaria dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor parasit (plasmodium), faktor manusia (host), faktor nyamuk Anopheles (vektor), dan faktor lingkungan (Soejoeti, 1995). Nyamuk Anopheles merupakan salah satu jenis vektor dari penyakit malaria yang sudah meluas hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Malaria termasuk penyakit yang penyebarannya luas, yakni di daerah daerah mulai 600 lintang utara sampai dengan 320 lintang selatan, dari daerah dengan ketinggian 2.666 m, sampai dengan daerah yang letaknya 433 m dibawah permukaan laut.
Indonesia menurut pengamatan terakhir terdapat sekitar 80 spesies Anopheles, sedangkan yang dinyatakan sebagai vektor malaria adalah sebanyak 22 spesies dengan tempat perindukan yang berbeda-beda. Di Sumatera spesies yang sudah dinyatakan sebagai vektor penting adalah An sundaicus, An. maculatus, dan An. nigerrimus sedangkan An. sinensis, dan An. letifer merupakan vektor yang kurang penting (Gandahusada, 2006). Propinsi Bengkulu nyamuk yang sudah dinyatakan sebagai vektor malaria adalah An. maculatus, An. Sundaicus dan An. nigerrimus (Prabowo,2004).
Umumnya malaria ditemukan pada daerah-daerah terpencil dan sebagian besar penderitanya dari golongan ekonomi lemah. Angka kesakitan malaria sejak 4 tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Di Jawa dan Bali meningkat dari 0.12 per 1000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 0.52 per 1000 penduduk pada tahun 1999, pada tahun 2001 0.62 per 1000 penduduk dan pada tahun 2002 0.47 kasus per 1.000. Di luar Jawa dan Bali meningkat dari 16.0 per 1000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 25.0 per 1000 penduduk pada tahun 1999, pada tahun 2001 26.2 per 1000 penduduk dan pada tahun 2002 19.65 kasus per 1000 penduduk. Selama tahun 1998-2000 kejadian luar biasa (KLB) malaria terjadi di 11 propinsi yang meliputi 13 kabupaten di 93 desa dengan jumlah penderita hampir 20.000 orang dengan 74 kematian (Depkes, 2003). Malaria mudah menyebar pada sejumlah penduduk, terutama yang bertempat tinggal di daerah persawahan, perkebunan, kehutanan maupun pantai (Anies, 2005).
Kota Bengkulu termasuk daerah endemis malaria, hampir di semua kecamatan kota Bengkulu terdapat kasus malaria, baik klinis maupun positif (mikroskopis). Pada periode tahun 2008 malaria menempati urutan ke lima dari 10 daftar penyakit terbanyak dengan jumlah kasus 5.779. Di Kecamatan Gading Cempaka dengan penderita 615 kasus, Kecamatan Ratu Agung 543 kasus, Kecamatan Ratu Samban 1599 kasus, Kecamatan Teluk Segara 897 kasus, Kecamatan Sungai Serut 626 kasus, Kecamatan Muara Bangka Hulu 356 kasus, Kecamatan Selebar 879 kasus dan kecamatan Kampung Kelawi sebanyak 264 kasus (Dinkes Bengkulu,2008).

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Malaria
Malaria adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh Dr. Francisco Torti pada abad ke 17, malaria berasal dari bahasa Itali Mal = kotor, sedangkan Aria = udara ”udara yang kotor” (Gandahusada, 2006). Malaria dapat menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus plasmodium. Penyakit malaria pada manusia ada empat jenis dan masing-masing disebabkan spesies parasit yang berbeda. Jenis malaria itu adalah:
1) Malaria tertiana (paling ringan), yang disebabkan oleh Plasmodium vivax dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi, ini dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi.
2) Demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh P. falciparum. Plasmodium ini merupakan sebagian besar penyebab kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau dan kematian
3) Malaria kuartana yang disebabkan P. malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama dari pada penyakit malaria tertiana atau tropika, gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari.
4) Malaria yang mirip malaria tertiana, malaria ini paling jarang ditemukan, dan disebabkan oleh P. ovale. Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh didalam sel hati, beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, organism tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah sehingga menyebabkan demam (Prasetyo, 2006).
Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan Plasmodium. ovale dan Plasmodium malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan Negara Timor Leste. Proses penularannya adalah dimulai nyamuk malaria yang mengandung parasit malaria, menggigit manusia sampai pecahnya sizon darah atau timbulnya gejala demam. Malaria disebabkan oleh sporozoa dari genus plasmodium yang ditularkan ke manusia oleh nyamuk Anopheles dengan gejala demam yang sering/periodik, anemia, pembesaran limpha dan berbagai kumpulan gejala lain karena pengaruhnya pada beberapa organ, misalnya otak, hati, dan ginjal. Malaria dijumpai hampir di seluruh pulau di Indonesia, disamping menyebabkan kesakitan dan kematian juga dapat menurunkan produktivitas kerja penderita (Rahmati, 2006).

B. Vektor Malaria
Nyamuk Anopheles di seluruh dunia terdapat kira-kira 2000 spesies, sedangkan yang dapat menularkan malaria kira-kira 60 spesies. Di Indonesia, menurut pengamatan terakhir ditemukan 80 spesies Anopheles, sedangkan yang menjadi vektor malaria adalah 22 spesies dengan tempat perindukan yang berbeda-beda (Gandahusada, 2006). Nyamuk yang menjadi vektor di Jawa dan Bali An. sundaicus, An. aconitus, An. balabacencis dan An. maculatus. Di daerah pantai banyak terdapat An. sundaicus dan An. subpictus, sedangkan An. balabacencis dan An. maculatus ditemukan di daerah non persawahan. Anopheles aconitus, An. barbirostrosis, An. tessellatus, An. nigerrimus dan An. sinensis di Jawa dan Sumatera tempat perindukan di sawah kadang di genangan-genangan air yang ada di sekitar persawahan. Di Kalimantan yang dinyatakan sebagai vektor adalah An. balabacensis, An. letifer. Malaria berkaitan erat dengan keadaan wilayah, di kawasan tropika seperti Indonesia penularan penyakit ini sangat rentan, karena keadaan cuaca yang mempunyai kelembaban tinggi akan memberikan habitat yang sesuai untuk pembiakan nyamuk yang menjadi vektor penularan kepada penyakit ini (Prasetyo, 2006).

C. Bionomik Nyamuk Malaria
1. Tempat Perindukan
Keberadaan nyamuk malaria di suatu daerah sangat tergantung pada lingkungan, keadaan wilayah seperti perkebunan, keberadaan pantai, curah hujan, kecepatan angin, suhu, sinar matahari, ketinggian tempat dan bentuk perairan yang ada. Nyamuk Anopheles aconitus dijumpai di daerah-daerah persawahan, tempat perkembangbiakan nyamuk ini terutama di sawah yang bertingkat-tingkat dan di saluran irigasi (Hiswani, 2004). Kepadatan populasi nyamuk ini sangat dipengaruhi oleh musim tanam padi (Sundararman dkk, 1957). Jentik-jentik nyamuk ini mulai ditemukan di sawah kira-kira pada padi berumur 2-3 minggu setelah tanam dan paling banyak ditemukan pada saat tanaman padi mulai berbunga sampai menjelang panen. Di daerah yang musim tanamnya tidak serempak dan sepanjang tahun ditemukan tanaman padi pada berbagai umur, maka nyamuk ini ditemukan sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan yang terjadi sekitar bulan Pebruari-April dan sekitar bulan Juli-Agustus (Barodji, 1987) Anopheles balabacencis dan An. maculatus adalah dua spesies nyamuk yang banyak ditemukan di daerah-daerah pegunungan non persawahan dekat hutan. Kedua spesies ini banyak dijumpai pada peralihan musim hujan ke musim kemarau dan sepanjang musim kemarau (Barodji dkk, 2001). Tempat perkembangbiakannya di genangan-genangan air yang terkena sinar matahari langsung seperti genganan air di sepanjang sungai, pada kobakan-kobakan air di tanah, di mata air-mata air dan alirannya, dan pada air di lubang batu-batu (Barodji, 1987).
Kepadatan jentik nyamuk An. balabacencis bisa ditemukan baik pada musim penghujan maupun pada musim kemarau. Jentik-jentik An. balabacencis ditemukan di genangan air yang berasal dari mata air, seperti penampungan air yang dibuat untuk mengairi kolam, untuk merendam bambu/kayu, mata air, bekas telapak kaki kerbau dan kebun salak. Dari gambaran di atas tempat perindukan An. balabacencis tidak spesifik seperti An. maculatus dan An. aconitus, karena jentik An. Balabacencis dapat hidup di beberapa jenis genganan air, baik genangan air hujan maupun mata air, pada umumnya kehidupan jentik An. balabacencis dapat hidup secara optimal pada genangan air yang terlindung dari sinar matahari langsung, diantara tanaman/vegetasi yang homogen seperti kebun salak, kebun kapulaga dan lain-lain (Barodji dkk, 2001). An. maculatus yang umum ditemukan di daerah pegunungan, ditemukan pula di daerah persawahan dan daerah pantai yang ada sungai kecil-kecil dan berbatu-batu (Barodji dkk, 2001).
Puncak kepadatan An. maculatus dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau kepadatan meningkat, hal ini disebabkan banyak terbentuk tempat perindukan berupa genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau tergenang. Perkembangbiakan nyamuk An. maculatus cenderung menurun bila aliran sungai menjadi deras (flushing) yang tidak memungkinkan adanya genangan di pinggir sungai sebagai tempat perindukan (Sunaryo, 2001) An. sundaicus dijumpai di daerah pantai, tempat perindukannnya adalah di air payau dengan salinitas antara 0-25 per mil, seperti rawa-rawa berair payau, tambak-tambak ikan tidak terurus yang banyak ditumbuhi lumut, lagun, muara-muara sungai yang banyak ditumbuhi tanaman air dan genangan air di bawah hutan bakau yang kena sinar matahari dan berlumut (Hiswani, 2004). An. sundaicus ditemukan sepanjang tahun dan paling banyak ditemukan pada pertengahan sampai akhir musim kemarau (September-Desember) (Sundararman dkk, 1957).

2. Tempat Istirahat
Tempat istirahat alam nyamuk Anopheles berbeda berdasarkan spesiesnya. Tempat istirahatnya An. aconitus pada pagi hari umumnya dilubang seresah yang lembab dan teduh, terletak ditengah kebun salak (Damar, 2002). Tempat istirahat An. aconitus pada umumnya ditempat yang mempunyai kelembaban tinggi dan intensitas cahaya rendah, serta di lubang tanah bersemak. An. aconitus hinggap di tempat-tempat dekat tanah (Anonimous, 1989). Nyamuk ini biasanya hinggap di daerah-daerah yang lembab, seperti di pinggir-pinggir parit, tebing sungai, dekat air yang selalu basah dan lembab (Hiswani, 2004). Tempat istirahat An. balabacencis pada pagi hari umumnya di lubang seresah yang lembab dan teduh, terletak ditengah kebun salak (Damar, 2002). An. balabacencis juga ditemukan di tempat yang mempunyai kelembaban tinggi dan intensitas cahaya yang rendah serta di lubang tanah bersemak (Harijanto, 2000). Di luar rumah tempat istirahat An. maculatus adalah di pinggiran sungai-sungai kecil dan di tanah yang lembab (sundararman dkk, 1957). Perilaku istirahat nyamuk An. sundaicus ini biasanya hinggap di dinding-dinding rumah penduduk (Hiswani, 2004).

H. Lingkungan
1. Lingkungan Fisik
Menurut Harijanto (2000), Faktor geografi dan meterorologi di Indonesia sangat menguntungkan transmisi malaria di Indonesia, seperti  :

1.1. Suhu
Nyamuk adalah binatang berdarah dingin sehingga proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungan, tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri terhadap perubahan-perubahan di luar tubuhnya. Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah tetapi proses metabolismenya menurun bahkan terhenti bila suhu turun sampai suhu kritis. Pada suhu yang lebih tinggi dari 35 ºC, juga mengalami perubahan. Suhu rata-rata optimum untuk pertumbuhan nyamuk 25º – 27ºC. Toleransi suhu tergantung pada species nyamuknya, species nyamuk tidak tahan pada suhu 5º – 6ºC.
Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan metabolisme yang sebagian diatur oleh suhu seperti lamanya masa pra dewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap, pematangan dari indung telur, frekuensi mengambil makanan atau mengigit berbeda-beda menurut suhu. Suhu juga mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 dan 30º C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (siklus sporogoni dalam tubuh nyamuk) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.

1.2. Kelembaban nisbi udara
Kelembaban nisbi udara adalah banyaknya kandungan uap air dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60 % merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Kelembaban juga berpengaruh terhadap kemampuan terbang nyamuk. Badan nyamuk yang kecil mempunyai permukaan yang besar oleh karena sistem pernapasan dengan trachea. Pada waktu terbang, nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak sehingga trachea terbuka. Dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air dalam tubuh dari penguapan, maka jarak terbang nyamuk terbatas. Kelembaban udara menjadi faktor yang mengatur cara hidup nyamuk, beradaptasi pada keadaan kelembaban yang tinggi dan pada suatu ekosistem kepulauan atau ekosistem hutan.  Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.

1.3. Hujan
Hujan menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.

1.4. Ketinggian
Setiap ketinggian naik 100 meter maka selisih udara dengan tempat semula ½ ºC. Bila perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak dan mempengaruhi faktor-faktor yang lain, termasuk penyebaran nyamuk , siklus pertumbuhan parasit di dalam nyamuk dan musim penularan.
Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah pada ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Hal ini bisa berubah bila terjadi pemanasan global dan pengaruh El-Nino.

1.5. Angin
Angin secara langsung berpengaruh pada penerbangan nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin 11 – 14 m/det atau 25 – 31 mil/jam akan menghambat penerbangan nyamuk.

1.6. Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An. sundaicus lebih suka tempat yang teduh. An. hyrcanus dan An. punctulatus lebih
menyukai tempat yang terbuka. An. barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang.

1.7. Arus air
An. barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/ mengalir lambat, sedangkan An. minimus menyukai aliran air yang deras dan An. letifer menyukai air tergenang.

2. Lingkungan Biologik
Keadaan lingkungan sekitar penduduk seperti adanya tumbuhan salak, bakau, lumut, ganggang dapat mempengaruhi kehidupan larva, karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemangsa larva seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mengurangi populasi nyamuk di suatu daerah. Begitu pula adanya hewan piaraan seperti sapi, kerbau dan babi dapat mempengaruhi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, bila ternak tersebut kandangnya tidak jauh dari rumah.


3. Lingkungan Sosial Budaya
Sosial budaya juga berpengaruh terhadap kejadian malaria seperti: kebiasaan keluar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan kontak dengan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria seperti penyehatan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan racun nyamuk. Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendungan, pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan malaria (Harijanto, 2000). Konflik antar penduduk yang menimbulkan peperangan dan perpindahan penduduk, serta peningkatan pariwisata dan perjalanan dari daerah endemik dapat menjadi faktor meningkatnya kasus malaria (Harijanto, 2000).
Hasil studi epidemiologi lingkungan memperlihatkan tingkat kesehatan masyarakat atau kejadian suatu penyakit dalam suatu kelompok masyarakat merupakan resultance dan hubungan timbal balik antara masyarakat itu sendiri dengan lingkungan. Pada gilirannya, sebagai unsur yang terlibat langsung dalam hubungan timbal balik tersebut, apapun yang terjadi sebagai dampak dari proses interaksi berupa perubahan lingkungan akan menimpa dan dirasakan masyarakat. Dalam kasus-kasus tertentu, kehidupan nyamuk di habitatnya, entah di Pantai, hutan atau gunung sudah demikian harmonis dan mengikuti keseimbangan alam. Nyamuk hutan atau gunung, misalnya mereka sebelumnya cukup memenuhi kebutuhan darahnya untuk keperluan pertumbuhan telurnya dari tubuh binatang yang ada di Hutan. Tanpa harus mengejar manusia, manusiapun relatif terhindar dari gigitan nyamuk. Namun seiring dengan rusaknya lingkungan ekosistem hutan, kehidupan dan keseimbangan alami tempat hidup mereka pun terganggu. Nyamuk pun menulari sumber dan lokasi kehidupan baru. Orang-orang sehat yang keluar masuk hutan, terpaksa harus menerima gigitan nyamuk dan pulang membawa parasit di dalam darahnya. Demikian pula penduduk yang bermukim disekitar hutan menjadi sasaran terdekat nyamuk-nyamuk hutan yang mencari sumber kehidupan mereka.

PEMBAHASAN
Malaria merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Di Indonesia masih banyak daerah yang merupakan endemis malaria. Vektor malaria adalah nyamuk anopheles, di Indonesia  dinyatakan sebagai vektor malaria adalah sebanyak 22 species sedangkan vektor malaria di Propinsi Bengkulu adalah An. maculatus, An. sundaicus dan An. nigerrimus.
Lingkungan merupakan faktor penting dalam transmisi malaria meliputi lingkungan fisik, biologik, dan sosial budaya. Lingkungan fisik, suhu, kelembaban nisbi udara, hujan, ketinggian, angin, sinar matahari dan arus air sangat dominan terhadap perkembangan nyamuk anopheles dari larva, nyamuk dewasa, hingga kemampuan terbang nyamuk. Tumbuhan disekitar tempat perindukan nyamuk (breeding places) seperti salak, bakau, lumut, ganggang dapat mempengaruhi kehidupan larva dan melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. adanya ikan pemangsa seperti ikan kepala timah (Panchax spp) akan dapat mengurangi populasi nyamuk anopheles.
Perilaku manusia sehari-hari juga ikut mempengaruhi transmisi malaria seperti keluar rumah sampai larut malam, dimana nyamuk anopheles bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan kontak dengan nyamuk, repelant adalah salah satu cara untuk menghindari gigitan nyamuk pada malam hari. Pada saat tidur biasakan menggunakan kelambu apabila berada di wilayah endemis malaria, program pendistribusian kelambu untuk ibu hamil merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan malaria. Perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia tanpa disadari meningkatkan transmisi malaria, kegiatan manusia terkadang mengakibatkan terbentuknya tempat perindukan nyamuk (breeding places) selain itu perubahan lingkungan terkadang juga mengakibatkan terjadinya perpindahan nyamuk dari satu tempat ke tempat lain.]

SIMPULAN
Lingkungan merupakan salah satu faktor penting dalam transmisi malaria mulai dari lingkungan fisik, biologik dan sosial budaya. Perkembangan nyamuk dipengaruhi faktor geografi dan meterologi mulai dari suhu, kelembaban nisbi udara, curah hujan, ketinggian, angin, sinar matahari dan arus air. Keberadaan hewan seperti ikan dapat menurunkan populasi nyamuk, selain itu perilaku manusia terhaadap lingkungan justru yang memudahkan proses transmisi malaria.

DAFTAR PUSTAKA
Anies. 2005. Manajemen Berbasis Lingkungan (Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular). PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Anonimous. 1989. Kumpulan Buletin Riset Nyamuk (Masquito) Di Indonesia. Dit. Jen. PPM dan PLP.
Barodji. 1983. Pengaruh penempatan ternak di daerah pedesaan terhadap jumlah vektor malaria An. aconitus yang menggigit orang dalam rumah (Seminar dan Kongres Nasional), Universitas Airlangga, Surabaya.
Barodji. 1987. Fluktuasi Kepadatan Populasi Vektor Malaria An. aconitus Di Daerah Sekitar Persawahan. Proc. Seminar Entomologi II, Jakarta.
Barodji dan Suwasono, H. 20 Keberadaan Sapi dan Kerbau di Daerah Pedesaan dan Pengaruhnya Terhadap Vektor Malaria. Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit. Salatiga.
Damar, T.B. Studi Epidemiologi Malaria di Daerah Endemi Malaria Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. 2002. From URL: http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2002-damar- .html (2 September 2010).
Dinas Kesehatan Kota Bengkulu. 2008. Kasus Penyakit Menular Yang Diamati Menurut Kecamatan dan Puskesmas Kota Bengkulu, Bengkulu.

Gandahusada, S. 2006. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Harijanto, P. N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan EGC. Jakarta.
Hiswani. Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di Indonesia. 2004. From URL: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani11.pdf. html (2 September 2010).
Prasetyo, A. Malaria. Jakarta 21 November 2006. From URL: http://.www. Pusat Informasi Penyakit Infeksi khususnya HIV-AIDS – Penyakit – Malaria.html (2 September 2010).
Prabowo, A. 2004. Malaria, Mencegah dan Mengatasinya. Penerbit Puspa Swara, Jakarta.
Rahmati, V. Nyamuk Malaria Sukai Bau Keringat. Selasa 03 Oktober 2006. From URL: http://www. [smu mosa] nyamuk malaria sukai bau keringat__files\smu_mosa@yahoogroups.html (2 September 2010).
Sunaryo. 2001. Bionomik Vektor Malaria di Kabupaten Banjarnegara. SLPV, Banjarnegara.
Sundararman, R.M. dkk. 1957. Malaria Vector Control In Mid Java, Indian J. Malariol.

Kapan Kita Bisa Merdeka dari Nyamuk?

Mengusir penjajah Belanda ternyata lebih mudah ketimbang mengusir nyamuk. Jika kita akur dengan pendapat terbaru bahwa Belanda baru berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia pada awal tahun 1900-an, berarti hanya perlu lima puluh tahun untuk mengusir Belanda pulang ke negaranya.
Dalam hal ini, nyamuk lebih keras kepala ketimbang kepalanya orang Belanda.
Perjuangan mengusir nyamuk di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1898 oleh bangsa Belanda melalui Malaria Service in Indonesia yang diketuai oleh N. H. Swellengrebel sebagai direktur pertamanya. Tugas utamanya adalah memusnahkan nyamuk Anopheles pembawa malaria. Tetapi sudah lebih 100 tahun berlalu, malaria masih menjadi momok di Indonesia, di mana untuk tahun 2009 saja masih ada 1,1 juta kasus malaria di Indonesia.
Itu baru malaria. Belum lagi nyamuk Aedes yang membawa penyakit demam berdarah dengue. Penyakit ini lebih mematikan dibanding malaria dan belum ada obatnya (tidak seperti malaria yang bisa diobati dengan kina/quinone). Untuk tahun 2008 saja, terdapat 136.399 kasus demam berdarah dengan jumlah kematian sebanyak 1.170 jiwa yang kebanyakannya anak-anak.
Sebenarnya, bisakah nyamuk diberantas sampai punah? Kalau orang Belanda yang gede-gede itu saja bisa kita suruh balik kanan ke negaranya, maka kenapa nyamuk yang imut-imut tidak bisa kita berantas sampai punah? Pasti bisa dan sangat mungkin.
Memusnahkan makhluk hidup pengganggu sangat mungkin dilakukan dan pernah tercatat dalam sejarah. Variola major dan Variola minor, dua virus penyebab cacar (smallpox) berhasil dimusnahkan dari muka bumi berkat usaha gigih dunia internasional yang dikomandani oleh Profesor Donald A. Henderson. Secara resmi PBB menyatakan virus cacar lenyap dari muka bumi pada bulan Desember 1979. Inilah sebab mengapa generasi yang lahir sebelum era 1970-an ada yang memiliki muka bopeng berlubang bekas penyakit cacar, sesuatu yang tidak dimiliki oleh generasi yang lahir setelah tahun 1970-an.

Bagaimana dengan nyamuk? Mungkin dunia internasional perlu menggalang usaha yang berskala sama seperti ketika dulu memusnahkan virus cacar demi menghapuskan nyamuk dari muka bumi. Tetapi, adakah akibat negatif terhadap lingkungan jika spesies nyamuk berhasil dipunahkan?
Kabar baiknya: tidak ada efek samping samasekali. Dunia akan aman dan lebih baik tanpa kehadiran nyamuk.

Majalah ilmiah tersohor Nature edisi Juli 2010 menurunkan tulisan Ecology: A world without mosquitoes (Ekologi: Sebuah dunia tanpa nyamuk). Dalam artikel tersebut Janet Fang menulis bahwa jika nyamuk menghilang, maka hanya ada dua makhluk yang merindukannya: 1) virus dan bakteri yang selama ini menumpang nyamuk untuk menulari manusia, dan 2) burung di area Kutub Utara yang terbiasa memakan nyamuk Aedes impiger dan Aedes nigripes - dua spesies nyamuk asli wilayah kutub. Selain mereka, tidak ada seorangpun atau apapun yang akan merindukan nyamuk. Si burung, para ilmuwan meyakini, akan beralih ke sumber pangan lain.

Coba bayangkan: Anda tidur di malam hari, jendela terbuka, angin malam menghembus sepoi-sepoi, dan Anda tidur lelap sampai pagi tanpa gigitan nyamuk, juga tanpa bau obat nyamuk. Indah, bukan? Inilah salah satu kemerdekaan yang kita idam-idamkan.
Dirgahayu Indonesia. Semoga kita bisa segera merdeka dari serangan nyamuk.

TEMPAT PERINDUKAN NYAMUK MALARIA

TEMPAT PERINDUKAN NYAMUK MALARIA

Peran suatu spesies sebagai vektor malaria dapat diperkirakan dengan melihat aspek bionomik (Takken, 1991) :
  1. Kepadatan spesies
  2. Umur nyamuk (longevity)
  3. Kerentanan spesies terhadap infeksi malaria lokal dan kemampuannya untuk menyebarkan penyakit malaria
  4. Perilaku mencari mangsa (antrofilik - zoofilik)
  5. Perilaku istrrahat (eksofilik - endofilik)
  6. Tempat mencari mangsa (eksofagik - endofagik)
  7. Penyebaran
  8. Musim dan Iklim
Vektor utama di Indonesia :
- An. sundaicus
- An. subciptus
- An. barbirostris
- An. balabacensis
- An. maculatus
- An. aconitus

Anopheles Sundaicus (Rodenwaldt, 1925) :
  • Lebih senang menghisap darah orang daripada binatang
  • Aktif menggigit sepanjang malam, tetapi paling banyak ditangkap antara pukul 22.00 - 01.00
  • Lebih banyak ditemukan menggigit orang diluar rumah daripada didalam rumah
  • Pada waktu malam nyamuk masuk kedalam rumah untuk mencari darah, hinggap di dinding baik sebelum maupun sesudah menghisap darah, perilaku istirahat nyamuk ini sangat berbeda antara satu dengan lokasi lainnya
  • Jarak terbang nyamuk betina cukup jauh, pernah dapat ditangkap di tempat lebih 3 km dari tempat perindukan (Garut, 1981)
  • Berkembang biak di air payau, dengan kadar garam optimum antara 12 – 18 ‰, meski tidak begitu tinggi, jentik nyamuk dapat ditemukan pada kadar garam dibawah 5 ‰, dan bila kadar garam mencapai 40 ‰, maka jentik akan menghilang
  • Jentik terkumpul ditempat-tempat yang tertutup tanaman air yang mengapung (ganggang/lumut), sampah yang terapung-apung dan pinggiran yang berumput
  • Genangan air payau untuk berkembang biak adalah genangan terbuka dan mendapat sinar matahari langsung, genangan air yang terlindung oleh rimbunan tumbuhan pelindung akan menjadikan tempat yang tidak cocok untuk tempat perindukan
 An.subpictus (Grassi, 1899)
  • Lebih senang menghisap darah ternak daripada manusia
  • Aktif menggigit sepanjang malam, meskipun paling banyak ditangkap antara pukul 22.00-23.00
  • Pada malam hari nyamuk hinggap didinding baik sebelum dan sesudah menghisap darah
  • Jentik nyamuk biasanya ditemukan bersama-sama An.sundaicus, keduanya berkembang biak di air payau, jentik An.subpictus lebih toleran terhadap kadar garam, sehingga dapat ditemukan ditempat yang mendekati tawar dan juga ditempat yang kadar garamnya cukup tinggi.
An.barbirostris (Van der Wulp, 1884)
  • Di Sumatera dan Jawa nyamuk ini jarang dijumpai menggigit orang
  • Aktif menggigit sepanjang malam, meskipun paling banyak ditangkap antara pukul 23.00-05.00
  • Frekwensi mencari darah tiap tiga hari sekali
  • Pada siang hari hanya sedikit yang dapat ditangkap didalam rumah, tempat istirahat nyamuk di alam luar, nyamuk hinggap pada pohon kopi, nanas serta tanaman perdu lainnya
  • Tempat perindukan nyamuk yang utama adalah sawah dengan saluran irigasinya, kolam dan rawa-rawa
Anopheles balabacensis ( Baisas, 1936 ):
  • Lebih tertarik menghisap darah orang daripada binatang, baik didalam rumah maupun di luar rumah
  • Keaktifan mencari darah terlambat,kebanyakan ditangkap setelah tengah malam sampai pukul 04.00, meskipun sebenarnya sudah mulai terlihat sejak senja sampai pagi
  • Sebelum dan sesudah menghisap darah pada malam hari banyak hinggap di dinding. Pada siang hari tidak ditemukan istirahat di dalam rumah tetapi di alam luar ( hutan ) walau tidak diketahui dimana nyamuk tersebut istirahat
  • Tempat perindukan genangan air tawar didalam hutan ( permanen atau temporer ), digenangan air tidak mengalir bekas tapak kaki, bekas roda, juga di pinggir sungai terutama pada musim kemarau
Anopheles maculatus ( Theobaldt, 1901 ) :
  • Lebih tertarik menghisap darah binatang daripada manusia
  • Keaktifan mencari darah agak terlambat mulai pukul 21.00 – 03.00. Lebih banyak ditang kap menggigit orang di luar rumah daripada didalam rumah
  • Pagi hari istirahat di luar rumah, hinggap pada pohon kopi dan tanaman di tebing curam
  • Mampu terbang sampai + 2 km
  • Berkembang biak di pegunungan, tempat perindukan sungai kecil dengan air jernih, mata air yang mendapat sinar matahari langsung dan lebih baik bila ada tanaman air. Di kolam dengan air jernih juga ditemukan jentik, meskipun densitasnya rendah

Anopheles aconitus (Donitz, 1902)
  • Pada umumnya lebih tertarik menghisap darah ternak, terutama kerbau dari pada manusia
  • Aktif menggigit sepanjang malam, meskipun 80 % dari jumlah yang ditangkap sebelum tengah malam, paling banyak antara 18.00 – 22.00 (Banjarnegara, 1977)
  • Lebih banyak ditangkap diluar rumah, pada malam hari hanya sedikit nyamuk yang hinggap di dinding rumah, masuk rumah untuk mencari darah dan langsung keluar
  • Pada pagi hari banyak ditemukan di tebing sungai, hinggap di hulu tebing, dekat air yang selalu basah dan lembab, penangkapan pagi hari di dalam rumah/kandang hanya mendapatkan sedikit nyamuk, dan sebagian besar ditangkap didalam kandang, didalam rumah/kandang 80 % hinggap dibawah dinding pada ketinggian kurang satu meter
  • Jarak terbang nyamuk betina cukup jauh, antara 1 – 2 km
  • Tempat perindukan utama di sawah dan saluran irigasi, persawahan berteras adalah tempat yang baik untuk perkembangannya, di persawahan daerah datar yang airnya menggenang, masih ditemukan tetapi densitasnya tidak pernah tinggi
  • Jentiknya ditemukan pula di tepi sungai yang airnya mengalir perlahan serta kolam air tawar yang agak alkalis
  • Terdapat hubungan cukup kuat antara densitas An.aconitus dengan umur padi di sawah, densitas mulai meninggi setelah 3 - 4 minggu padi ditanam dan mencapai puncaknya setelah padi berumur 5 – 6 minggu
  • Didaerah dengan pola tanam tidak teratur, desnitasnya tinggi sepanjang tahun, meski masih terlihat adanya puncak densitas pada bulan tertentu, di daerah cukup air, terlihat ada 2 puncak, puncak densitas pertama pada Maret/April dan puncak densitas kedua pada Agustus/September

ANOPHELES MOSQUITO

Anopheles, pronounced /əˈnɒfɨliːz/,[1] is a genus of mosquito. There are approximately 460 recognized species: while over 100 can transmit human malaria, only 30–40 commonly transmit parasites of the genus Plasmodium, which cause malaria in humans in endemic areas. Anopheles gambiae is one of the best known, because of its predominant role in the transmission of the most dangerous malaria parasite species – Plasmodium falciparum.
The name comes from the Greek αν, an, meaning not, and όφελος, ópheles, meaning profit, and translates to useless.[1]
Some species of Anopheles also can serve as the vectors for canine heartworm Dirofilaria immitis, the Filariidae Wuchereria bancrofti and Brugia malayi, and viruses such as one that causes O'nyong'nyong fever. There is an association of brain tumor incidence and malaria, suggesting that the Anopheles might transmit a virus or other agent that could cause a brain tumor.[2]
Mosquitoes in other genera (Aedes, Culex) can also serve as vectors of disease agents

Evolution

The culicine and Anopheles clades diverged around 150 million years ago.[3] The Old and New World Anopheles species subsequently diverged aroud 95 million years ago.[3] The Anopheles gambiae and Anopheles funestus clades diverged 80 to 36 million years ago. A molecular study of several genes in seven species has provided additional support for an expansion of this genus during the Cretaceous period.[4]
The Anopheles genome (230–284 Mb) is comparable in size to that of Drosophila but considerably smaller than those found in other culicine genomes (528 Mb–1.9 Gb). Like most culicine species, the genome is diploid with six chromosomes.
The only known fossils of this genus are those of Anopheles (?Nyssorhynchus) dominicanus Zavortink & Poinar contained in Dominican amber from the Late Eocene (40.4 to 33.9 million years ago) and Anopheles rottensis Statz contained in German amber from the Late Oligocene (28.4 to 23 million years ago).

Systematics

The genus Anopheles belongs to a subfamily Anophelinae with three genera: Anopheles Meigen (nearly worldwide distribution), Bironella Theobald (Australia only) and Chagasia Cruz (Neotropics). Bironella appears to be the sister taxon to the Anopheles with Chagasia forming the outgroup in this subfamily.
The classification of this genus began in 1901 with Theobald. Despite the passage of time the taxonomy remains incompletely settled. Classification into species is based on morphological characteristics - wing spots, head anatomy, larval and pupal anatomy, chromosome structure - and more recently on DNA sequences.
The genus itself has been subdivided into seven subgenera based primarily on the number and positions of specialized setae on the gonocoxites of the male genitalia. The system of subgenera originated with the work of Christophers who in 1915 described three subgenera: Anopheles (widely distributed), Myzomyia (later renamed Cellia) (Old World) and Nyssorhynchus (Neotropical). Nyssorhynchus was first described as Lavernia by Theobald. Edwards in 1932 added the subgenus Stethomyia (Neotropical distribution). Kerteszia was also described by Edwards in 1932 but then recognised as a subgrouping of Nyssorhynchus. It was elevated to subgenus status by Komp in 1937 and it is also found in the Neotropics. Two additional subgenera have since been recognised: Baimaia (Southeast Asia only) by Harbach et al. in 2005 and Lophopodomyia (Neotropical) by Antunes in 1937.
Within the genus Anopheles there are two main groupings: one formed by the Cellia and Anopheles subgenera and a second by Kerteszia, Lophopodomyia and Nyssorhynchus. Subgenus Stethomyia is an outlier with respect to these two taxa. Within the second group Kerteszia and Nyssorhynchus appear to be sister taxa.
The number of species currently recognised within the subgenera is given here in parentheses: Anopheles (206 species), Baimaia (1), Cellia (216), Kerteszia (12), Lophopodomyia (6), Nyssorhynchus (34) and Stethomyia (5).
Taxonomic units between subgenus and species are not currently recognised as official zoological names. In practice a number of taxonomic levels have been introduced. The larger subgenera (Anopheles, Cellia and Nyssorhynchus) have been subdivided into sections and series which in turn have been divided into groups and subgroups. Below subgroup but above species level is the species complex. Taxonomic levels above species complex can be distinguished on morphological grounds. Species within a species complex are either morphologically identical or extremely similar and can only be reliably separated by microscopic examination of the chromosomes or DNA sequencing. The classification continues to be revised.
Subgenus Nyssorhynchus has been divided in three sections: Albimanus (19 species), Argyritarsis (11 species) and Myzorhynchella (4 species). The Argyritarsis section has been sub divided into Albitarsis and Argyritarsis groups.
The Anopheles Group was divided by Edwards into four series: Anopheles (worldwide), Myzorhynchus (Palearctic, Oriental, Australasian and Afrotropical), Cycloleppteron (Neotropical) and Lophoscelomyia (Oriental); and two groups, Arribalzagia (Neotropical) and Christya (Afrotropical). Reid and Knight (1961) modified this classification and consequently subdivided the subgenus Anopheles into two sections, Angusticorn and Laticorn and six series. The Arribalzagia and Christya Groups were considered to be series. The Laticorn Section includes the Arribalzagia (24 species), Christya and Myzorhynchus Series. The Angusticorn Section includes members of the Anopheles, Cycloleppteron and Lophoscelomyia Series.
All species known to carry human malaria lie within either the Myzorhynchus or the Anopheles Series.

Life Stages

Like all mosquitoes, anophelines go through four stages in their life cycle: egg, larva, pupa, and imago. The first three stages are aquatic and last 5–14 days, depending on the species and the ambient temperature. The adult stage is when the female Anopheles mosquito acts as malaria vector. The adult females can live up to a month (or more in captivity) but most probably do not live more than 1–2 weeks in nature.

Eggs
Adult females lay 50–200 eggs per oviposition. The eggs are quite small (~0.5 × 0.2 mm). Eggs are laid singly and directly on water. They are unique in that they have floats on either side. Eggs are not resistant to drying and hatch within 2–3 days, although hatching may take up to 2–3 weeks in colder climates.

Larvae
Mosquito larvae have a well-developed head with mouth brushes used for feeding, a large thorax and a nine segmented abdomen. They have no legs. In contrast to other mosquitoes, Anopheles larvae lack a respiratory siphon and for this reason position themselves so that their body is parallel to the surface of the water.
Larvae breathe through spiracles located on the 8th abdominal segment and therefore must come to the surface frequently. The larvae spend most of their time feeding on algae, bacteria, and other microorganisms in the surface microlayer. They dive below the surface only when disturbed. Larvae swim either by jerky movements of the entire body or through propulsion with the mouth brushes.
Larvae develop through 4 stages, or instars, after which they metamorphose into pupae. At the end of each instar, the larvae molt, shedding their exoskeleton, or skin, to allow for further growth. 1st stage larvae are ~1 mm in length; 4th stage larvae are normally 5–8 mm in length.
The process from egg laying to emergence of the adult is temperature dependent, with a minimum time of 7 days.
The larvae occur in a wide range of habitats but most species prefer clean, unpolluted water. Larvae of Anopheles mosquitoes have been found in fresh- or salt-water marshes, mangrove swamps, rice fields, grassy ditches, the edges of streams and rivers, and small, temporary rain pools. Many species prefer habitats with vegetation. Others prefer habitats that have none. Some breed in open, sun-lit pools while others are found only in shaded breeding sites in forests. A few species breed in tree holes or the leaf axils of some plants.

Pupae
The pupa is comma-shaped when viewed from the side. The head and thorax are merged into a cephalothorax with the abdomen curving around underneath. As with the larvae, pupae must come to the surface frequently to breathe, which they do through a pair of respiratory trumpets on the cephalothorax. After a few days as a pupa, the dorsal surface of the cephalothorax splits and the adult mosquito emerges.

Adults
The duration from egg to adult varies considerably among species and is strongly influenced by ambient temperature. Mosquitoes can develop from egg to adult in as little as 5 days but usually take 10–14 days in tropical conditions.
Like all mosquitoes, adult Anopheles have slender bodies with 3 sections: head, thorax and abdomen.
The head is specialized for acquiring sensory information and for feeding. The head contains the eyes and a pair of long, many-segmented antennae. The antennae are important for detecting host odors as well as odors of breeding sites where females lay eggs. The head also has an elongated, forward-projecting proboscis used for feeding, and two sensory palps.
The thorax is specialized for locomotion. Three pairs of legs and a pair of wings are attached to the thorax.
The abdomen is specialized for food digestion and egg development. This segmented body part expands considerably when a female takes a blood meal. The blood is digested over time serving as a source of protein for the production of eggs, which gradually fill the abdomen.
Anopheles mosquitoes can be distinguished from other mosquitoes by the palps, which are as long as the proboscis, and by the presence of discrete blocks of black and white scales on the wings. Adult Anopheles can also be identified by their typical resting position: males and females rest with their abdomens sticking up in the air rather than parallel to the surface on which they are resting.
Adult mosquitoes usually mate within a few days after emerging from the pupal stage. In most species, the males form large swarms, usually around dusk, and the females fly into the swarms to mate.
Males live for about a week, feeding on nectar and other sources of sugar. Females will also feed on sugar sources for energy but usually require a blood meal for the development of eggs. After obtaining a full blood meal, the female will rest for a few days while the blood is digested and eggs are developed. This process depends on the temperature but usually takes 2–3 days in tropical conditions. Once the eggs are fully developed, the female lays them and resumes host seeking.
The cycle repeats itself until the female dies. While females can live longer than a month in captivity, most do not live longer than 1–2 weeks in nature. Their lifespan depends on temperature, humidity, and also their ability to successfully obtain a blood meal while avoiding host defenses.

Habitat

Although malaria is nowadays limited to tropical areas, most notoriously regions of sub-Saharan Africa, many Anopheles species live in colder latitudes (see this map from the CDC). Indeed, malaria outbreaks have, in the past, occurred in colder climates, for example during the construction of the Rideau Canal in Canada during the 1820s.[5] Since then, the Plasmodium parasite (not the Anopheles mosquito) has been eliminated from first world countries.
The CDC warns, however, that "Anopheles that can transmit malaria are found not only in malaria-endemic areas, but also in areas where malaria has been eliminated. The latter areas are thus constantly at risk of re-introduction of the disease."

Susceptibility to become a vector of disease

Some species are poor vectors of malaria, as the parasites do not develop well (or at all) within them. There is also variation within species. In the laboratory, it has been possible to select for strains of A. gambiae that are refractory to infection by malaria parasites. These refractory strains have an immune response that encapsulates and kills the parasites after they have invaded the mosquito's stomach wall. Scientists are studying the genetic mechanism for this response. It is hoped that some day, genetically modified mosquitoes that are refractory to malaria can replace wild mosquitoes, thereby limiting or eliminating malaria transmission.

Malaria Transmission and Control

Understanding the biology and behavior of Anopheles mosquitoes can help understand how malaria is transmitted and can aid in designing appropriate control strategies. Factors that affect a mosquito's ability to transmit malaria include its innate susceptibility to Plasmodium, its host choice and its longevity. Factors that should be taken into consideration when designing a control program include the susceptibility of malaria vectors to insecticides and the preferred feeding and resting location of adult mosquitoes.
On December 21, 2007, a study published in PLoS Pathogens found that the hemolytic C-type lectin CEL-III from Cucumaria echinata, a sea cucumber found in the Bay of Bengal, impaired the development of the malaria parasite when produced by transgenic A. stephensi.[6] This could potentially be used one day to control malaria by spreading genetically modified mosquitoes refractory to the parasites, although there are numerous scientific and ethical issues to be overcome before such a control strategy could be implemented.

Preferred sources for blood meals

One important behavioral factor is the degree to which an Anopheles species prefers to feed on humans (anthropophily) or animals such as cattle (zoophily). Anthropophilic Anopheles are more likely to transmit the malaria parasites from one person to another. Most Anopheles mosquitoes are not exclusively anthropophilic or zoophilic. However, the primary malaria vectors in Africa, A. gambiae and A. funestus, are strongly anthropophilic and, consequently, are two of the most efficient malaria vectors in the world.
Once ingested by a mosquito, malaria parasites must undergo development within the mosquito before they are infectious to humans. The time required for development in the mosquito (the extrinsic incubation period) ranges from 10–21 days, depending on the parasite species and the temperature. If a mosquito does not survive longer than the extrinsic incubation period, then she will not be able to transmit any malaria parasites.
It is not possible to measure directly the life span of mosquitoes in nature. But indirect estimates of daily survivorship have been made for several Anopheles species. Estimates of daily survivorship of A. gambiae in Tanzania ranged from 0.77 to 0.84, meaning that at the end of one day between 77% and 84% will have survived.[7]
Assuming this survivorship is constant through the adult life of a mosquito, less than 10% of female A. gambiae would survive longer than a 14-day extrinsic incubation period. If daily survivorship increased to 0.9, over 20% of mosquitoes would survive longer than a 14-day extrinsic incubation period. Control measures that rely on insecticides (e.g. indoor residual spraying) may actually impact malaria transmission more through their effect on adult longevity than through their effect on the population of adult mosquitoes.

Patterns of feeding and resting

Most Anopheles mosquitoes are crepuscular (active at dusk or dawn) or nocturnal (active at night). Some Anopheles mosquitoes feed indoors (endophagic) while others feed outdoors (exophagic). After feeding, some blood mosquitoes prefer to rest indoors (endophilic) while others prefer to rest outdoors (exophilic), though this can differ regionally based on local vector ecotype, and vector chromosomal makeup, as well as housing type and local microclimatic conditions. Biting by nocturnal, endophagic Anopheles mosquitoes can be markedly reduced through the use of insecticide-treated bed nets (ITNs) or through improved housing construction to prevent mosquito entry (e.g. window screens). Endophilic mosquitoes are readily controlled by indoor spraying of residual insecticides. In contrast, exophagic/exophilic vectors are best controlled through source reduction (destruction of the breeding sites).

Insecticide resistance

Insecticide-based control measures (e.g. indoor spraying with insecticides, ITNs) are the principal way to kill mosquitoes that bite indoors. However, after prolonged exposure to an insecticide over several generations, mosquitoes, like other insects, may develop resistance, a capacity to survive contact with an insecticide. Since mosquitoes can have many generations per year, high levels of resistance can arise very quickly. Resistance of mosquitoes to some insecticides has been documented with just within a few years after the insecticides were introduced. There are over 125 mosquito species with documented resistance to one or more insecticides. The development of resistance to insecticides used for indoor residual spraying was a major impediment during the Global Malaria Eradication Campaign. Judicious use of insecticides for mosquito control can limit the development and spread of resistance. However, use of insecticides in agriculture has often been implicated as contributing to resistance in mosquito populations. It is possible to detect developing resistance in mosquitoes and control programs are well advised to conduct surveillance for this potential problem.

Eradication

With substantial numbers of malaria cases affecting people around the globe, in tropical and subtropical regions, especially in sub-Saharan Africa, where millions of children are killed by this infectious disease, eradication is back on the global health agenda.[8]
Although malaria has existed since old times, its eradication was possible in Europe, North America, the Caribbean and parts of Asia and southern Central America during the first regional elimination campaigns in the late 1940s. However, the same results were not achieved in sub-Saharan Africa.[8]
Even though the World Health Organization adopted a formal policy on the control and eradication of the malaria parasite since 1955,[9] it was recently, after the Gates Malaria Forum in October 2007, that key organizations started the debate on the pros and cons of redefining eradication as a goal to control malaria.
Clearly, the cost of preventing malaria is much less than treating the disease, in the long run. However, eradication of mosquito is not an easy task. For effective prevention of malaria, some conditions should be met such as conducive conditions in the country, data collection about the disease, targeted technical approach to the problem, very active and committed leadership, government’s total support, monetary free hand, community involvement, skilled technicians from different fields as well as an adequate implementation.[10]
There is a wide range of strategies to achieve malaria eradication that start from simple steps to complicated strategies which may not be possible to enforce with the current tools.
Although mosquito control is an important component of malaria control strategy, elimination of malaria in an area does not require the elimination of all Anopheles mosquitoes. For instance, in North America and Europe, although the vector Anopheles mosquitoes are still present, the parasite has been eliminated. There are also some socioeconomic improvements (e.g., houses with screened windows, air conditioning) that once combined with vector reduction efforts and effective treatment lead to the elimination of malaria without the complete elimination of the vectors. Some important measures in mosquito control to be followed are: discourage egg laying, prevent development of eggs into larvae and adults, kill the adult mosquitoes, do not allow adult mosquitoes into places of human dwelling, prevent mosquitoes from biting human beings and deny blood meal.[11]
Research in this sense continues, and a study has suggested that sterile mosquitoes might be the answer to malaria elimination. This research suggests that using the sterile insect technique (SIT), in which sexually sterile male insects are released to wipe out a pest population, could be a solution to the problem of malaria in Africa. This technique brings hope, as female mosquitoes only mate once during their lifetimes, and in doing so with sterile male mosquitoes, the insect population would decrease.[12] This is another option to be considered by local and international authorities that may be combined with other methods and tools to achieve malaria eradication in sub-Saharan Africa.

Parasites

A number of parasites of this genus are known to exist including microsporidia of the genera Amblyospora, Crepidulospora, Senoma and Parathelohania.[13]
Microsporida infecting the aquatic stages of insects, a group that includes mosquitoes and black flies, and copepods appear to form a distinct clade from those infecting terrestrial insects and fish. There are two distinct life cycles in this group: in the first type the parasite is transmitted by the oral route and is relatively non species specific. In the second, while again the oral route is the usual route of infection, the parasite is ingested within an already infected intermediate host. Infection of the insect larval form is frequently tissue specific, and commonly involves the fat body. Vertical (transovarial) transmission is also known to occur.
Few phylogenetic studies of these parasites have been done, and their the relationship to their mosquito hosts is still being determined. One study suggested Parathelohania is an early diverging genus within this group.[14]
The parasite Wolbachia has been studied for use as a control agent.[15]

See also
  • O'nyong'nyong virus
  • Taxonomy of Anopheles
  • Tropical disease
References
  1. ^ a b Anopheles at dictionary.com.
  2. ^ Steven Lehrer (2010). "Anopheles mosquito transmission of brain tumor" (PDF). Medical Hypotheses 74 (1): 167–168. doi:10.1016/j.mehy.2009.07.005. PMID 19656635. http://www.stevenlehrer.com/images/medhypinpress09.pdf
  3. ^ a b Eric Calvo, Van M Pham, Osvaldo Marinotti, John F. Andersen & José M. C. Ribeiro (2009). "The salivary gland transcriptome of the neotropical malaria vector Anopheles darlingi reveals accelerated evolution of genes relevant to hematophagy". BMC Genomics 10 (1): 57. doi:10.1186/1471-2164-10-57. PMID 19178717. PMC 2644710. http://www.biomedcentral.com/1471-2164/10/57/abstract
  4. ^ Jyotsana Dixit, Hemlata Srivastava, Meenu Sharma, Manoj K. Das, O.P. Singh, K. Raghavendra, Nutan Nanda, Aditya P. Dash, D. N. Saksena & Aparup Das (2010). "Phylogenetic inference of Indian malaria vectors from multilocus DNA sequences". Infection, Genetics and Evolution 10 (6): 755–763. doi:10.1016/j.meegid.2010.04.008. PMID 20435167. 
  5. ^ William N. T. Wylie (1983). "Poverty, Distress, and Disease: Labour and the Construction of the Rideau Canal, 1826-32". Labour/Le Travail (Athabasca University Press) 11: 7–29. http://www.jstor.org/stable/25140199
  6. ^ Shigeto Yoshida, Yohei Shimada , Daisuke Kondoh, Yoshiaki Kouzuma, Anil K. Ghosh, Marcelo Jacobs-Lorena & Robert E. Sinden (2007). "Hemolytic C-type lectin CEL-III from sea cucumber expressed in transgenic mosquitoes impairs malaria parasite development". PLoS Pathogens 3 (12): e192. doi:10.1371/journal.ppat.0030192. PMID 18159942. PMC 2151087. http://www.plospathogens.org/article/info:doi/10.1371/journal.ppat.0030192
  7. ^ J. D. Charlwood, T. Smith, P. F. Billingsley, W. Takken, E. O. K. Lyimo & J. H. E. T. Meuwissen (1997). "Survival And infection probabilities of anthropophagic anophelines from an area of high prevalence of Plasmodium falciparum in humans". Bulletin of Entomological Research 87 (5): 445–453. doi:10.1017/S0007485300041304. 
  8. ^ a b Marcel Tanner & Don de Savigny (2008). "Malaria eradication back on the table". Bulletin of the World Health Organization 86 (2): 82–83. doi:10.2471/BLT.07.050633. http://www.who.int/bulletin/volumes/86/2/07-050633/en/
  9. ^ "Malaria Eradication". http://www.cwru.edu/med/epidbio/mphp439/Malaria.htm. Retrieved 2010-05-04. 
  10. ^ "Mosquito Eradication". http://www.malariasymptoms.org/malaria-preventing.html. Retrieved 2010-05-04. 
  11. ^ "Mosquito Control". Archived from the original on May 1, 2008. http://web.archive.org/web/20080501074333/http://www.malariasite.com/MALARIA/mosquito_control.htm. Retrieved 2010-05-04. 
  12. ^ "Are sterile mosquitoes the answer to malaria elimination?". http://esciencenews.com/articles/2009/11/16/are.sterile.mosquitoes.answer.malaria.elimination. Retrieved 2010-05-04. 
  13. ^ A. V. Simakova & T. F. Pankova (2008). "Ecology and epizootology of microsporidia in malarial mosquitoes (Diptera: Culicidae) from the south of western Siberia" (in Russian). Parazitologiia 42 (2): 139–150. PMID 18664069. 
  14. ^ Michael D. Baker, Charles R. Vossbrinck, James J. Becnel & Theodore G. Andreadis (1998). "Phylogeny of Amblyospora (Microsporida: Amblyosporidae) and related genera based on small subunit ribosomal DNA data: a possible example of host parasite cospeciation" (PDF). Journal of Invertebrate Pathology 71 (3): 199–206. doi:10.1006/jipa.1997.4725. PMID 9538024. http://www.ct.gov/caes/LIB/caes/documents/biographies/BakerJIP98.pdf
  15. ^ http://news.discovery.com/animals/mosquito-parasite-disease-fighting.html